Yuk, Kenali Istilah B20, B100, Biofuel dalam Bioenergi

Senin, 25 Februari 2019 | 15:10 WIB | Humas EBTKE

Akhir-akhir ini kita seringkali mendengar istilah B20, baik di media cetak maupun media elektronik. Apa itu B20? Mengapa disebut B20? Yuk, sama-sama kita pahami istilah-istilah yang terkait dengan B20.

B20 adalah program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 20% biodiesel dengan 80% bahan bakar minyak jenis solar. Program ini mulai diberlakukan sejak Januari 2016 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 31 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Biodiesel (B100) adalah bahan bakar nabati (BBN)/biofuel untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan biomassa lainnya yang diproses secara esterifikasi.

Bahan Bakar Nabati (BBN)/Biofuel adalah salah satu energi yang dihasilkan dari bahan baku bioenergi melalui proses/teknologi tertentu.

Bioenergi merupakan energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik.

 

Selain Biodiesel, Pemerintah juga telah mengatur BBN jenis lainnya yakni bioetanol dan minyak nabati murni.

Untuk pemakaiannya, Biodiesel dan Bioetanol akan dicampurkan dengan bahan bakar fosil pada persentase tertentu. Dalam hal ini, untuk biodiesel dicampurkan dengan solar, sedangkan bioetanol dicampurkan dengan bensin.

Saat ini pemerintah juga aktif mendorong pengembangan BBN biohidrokarbon yang karakteristiknya sama atau bahkan lebih baik daripada senyawa hidrokarbon/BBM berbasis fosil. BBN Biohidrokarbon yang ramah lingkungan ini dapat langsung digunakan (drop-in) sebagai substitusi BBM fosil  tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan. BBN biohidrokarbon ini dapat dibedakan menjadi green-gasoline, green-diesel, dan bioavtur.

 

Implementasi Program B20

Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 tahun 2015, jenis sektor yang wajib menerapkan diantaranya usaha mikro, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi dan pelayanan umum/ PSO (Public Service Obligation); transportasi non PSO; industri dan komersial; serta pembangkit listrik. Program pencampuran Biodiesel ke dalam solar sebesar 20% (B20) sudah diimplementasikan dengan baik di sektor transportasi (PSO) sejak tahun 2016. Sesuai arahan Presiden RI, terhitung mulai tanggal 1 September 2018 mandatori B20 dijalankan secara masif di semua sektor.

 

Penggunaan biodiesel pada mesin diesel

Biodiesel dengan persentase pencampuran tertentu bisa digunakan pada mesin diesel tanpa penyesuaian signifikan. Pada pencampuran Biodiesel yang tinggi (20-30%), perlu perhatian khusus terhadap penyimpanan dan penanganan Biodiesel, serta material dalam sistem bahan bakar seperti seal, gasket, dan perekat mobil yang terbuat dari karet alam.

 

Dampak penggunaan biodiesel terhadap lingkungan

Penggunaan biodiesel dapat meningkatkan kualitas lingkungan karena bersifat degradable (mudah terurai) dan emisi yang dikeluarkan lebih rendah dari emisi hasil pembakaran bahan bakar fosil.

Berdasarkan hasil Laporan Kajian dan Uji Pemanfaatan Biodiesel 20% (B20) yang dilakukan oleh Ditjen EBTKE bersama beberapa stakeholder terkait pada tahun 2014, diperoleh hasil uji emisi sebagai berikut:

1. Kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi CO yang lebih rendah dibandingkan kendaraan B0. Hal ini dipengaruhi oleh lebih tingginya angka cetane dan kandungan oksigen dalam B20 sehingga mendorong terjadinya pembakaran yang lebih sempurna.

2. Kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi Total Hydrocarbon (THC) yang lebih rendah dibandingkankendaraan B0. Hal ini disebabkan pembakaran yang lebih baik pada kendaraan

 

Manfaat pelaksanaan Program B20

Banyak manfaat yang didapat dari pelaksanaan program B20 ini, antara lain sebagai berikut:

1. Meningkatkan ketahanan energi nasional melalui diversifikasi energi dengan mengutamakan potensi energi lokal;

2. Menghemat devisa dan mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM;

3. Meningkatkan nilai tambah ekonomi melalui hilirisasi industri kelapa sawit;

4. Membuka lapangan kerja; dan

5. Mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dan meningkatkan kualitas lingkungan.

 

(RWS)


Contact Center