Pengembangan Katalis Berteknologi Tinggi Untuk Pengembangan BBN di Kilang Pertamina

Jumat, 17 Mei 2019 | 14:05 WIB | Humas EBTKE

DUMAI - Pemerintah mendukung dan mengapresiasi pengembangan katalis berteknologi tinggi yang dilakukan oleh PT.Pertamina (Persero) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang digunakan untuk co-processing di Kilang Refinery Unit (RU) II Dumai. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Bioenergi, Andriah Feby Misna saat peninjauan pengujian Katalis Merah Putih di Kilang Pengolahan RU II Dumai pada Kamis (17/5).

"Saat ini bahan bakar nabati merupakan salah satu kontributor utama porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi primer. Dengan semakin berkembangnya teknologi biohidrokarbon khususnya melalui inovasi putra bangsa, diharapkan peran Bahan Bakar Nabati (BBN) akan semakin luas dan Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam hal pemanfaatan sumber daya alam lokal untuk kepentingan ketahanan energi nasional," tutur Feby.

Sebelum pengujian di Kilang Dumai, PT. Pertamina (Persero) berhasil menjalankan inovasi dalam pengembangan BBM Nabati jenis gasoline (minyak bensin) melalui sistem co-processing di Kilang Refinery Unit (RU) III Plaju Sumatera Selatan. Kali ini co-processing dijalankan di Kilang Pertamina RU II Dumai guna menciptakan bahan bakar nabati dengan jenis gasoil (minyak solar).

Co-processing atau pengolahan bahan bakar dengan penggabungan bahan baku minyak fosil dan bahan baku minyak nabati ini dilaksanakan dengan menggunakan katalis berteknologi tinggi hasil pengembangan yang dilaksanakan di Research and Technology Center Pertamina bersama Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Peninjauan lokasi dan pemantauan perkembangan program ini dilaksanakan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir didampingi Direktur Perencanaan Investasi dan Pemantauan Resiko (PIMR) Heru Setiawan, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Kadarsyah Suryadi dan Nandang Kurnaedi GM Pertamina RU II di Kilang Pertamina Dumai.

Pada kesempatan tersebut, Nandang menjelaskan pengembangan katalis ini telah dilakukan sejak 2008 hingga terciptanya katalis generasi kedua yang telah secara optimal mejadi elemen pendukung co-processing di Kilang RU II. Seluruh proses pengembangan katalis dilaksanakan oleh putera puteri terbaik bangsa dan diujicobakan pula di Kilang Pertamina.

Setelah berhasil menciptakan katalis, pengolahan CPO dilakukan di fasilitas Distillate Hydrotreating Unit (DHDT) yang berada di kilang Pertamina Dumai, berkapasitas 12.6 MBSD (Million Barel Steam Per Day). Penggantian katalis lama dengan versi baru ciptaan dalam negeri mulai dijalankan pada Februari 2019. Injeksi bahan baku minyak nabati pun mulai dilaksanakan pada Maret 2019.

"Dari hasil uji coba, pengolahan dengan sistem co-processing di unit DHDT ini dapat menyerap feed RBDPO hingga 12 %. Pencampuran langsung RBDPO dengan bahan bakar fosil di kilang ini secara teknis lebih sempurna dengan proses kimia, sehingga menghasilkan komponen gasoil dengan kualitas lebih tinggi karena angka cetane mengalami peningkatan hingga 58 dengan kandungan sulphur lebih rendah", ungkap Nandang.

Adapun CPO yang digunakan adalah jenis crude palm oil yang telah diolah dan dibersihkan getah serta baunya atau dikenal dengan nama RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil). RBDPO tersebut kemudian dicampur dengan sumber bahan bakar fosil di kilang dan diolah dengan proses kimia sehingga menghasilkan bahan bakar solar ramah lingkungan.

Pemerintah mengharapkan keberhasilan kinerja katalis merah putih untuk produksi green-diesel melalui co-processing sampai dengan 12.5% on feed di kilang pengolahan RU II Dumai dapat diduplikasi di kilang pengolahan Pertamina lainnya dan akan menjadi top-up dari mandatori Biodiesel yang saat ini sudah berjalan. "Bila implementasi Biodiesel dibatasi pada persentase tertentu karena karakteristik teknisnya, maka lain halnya dengan produksi green-diesel/HVO yang dalam pengujian ini terbukti menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan cetane index dan penurunan sulfur," ujar Feby.

Ia juga menyampaikan bahwa sinergi berbagai sektor dan instansi mutlak dibutuhkan agar biohidrokarbon ini dapat diimplementasikan secara komersial. "Dari sisi hulu dibutuhkan percepatan teknologi produksi minyak nabati industri yakni IPO (industrial palm oil) dan IKO (industrial kernel oil) sebagai bahan baku hidorkarbon yang lebih efisien. Dari sisi produksi, perlu percepatan pendirian pabrik katalis merah putih serta pengembangan teknologi untuk proses standalone. Dan dari sisi hilir, kami dari KESDM sedang berupaya menyusun kebijakan, standar dan insentif yang diperlukan untuk mendorong implementasi biohidrokarbon ini," tandasnya. (RWS)


Contact Center