Peluang dan Tantangan Pemanfaatan Biodiesel Berbasis Minyak Jelantah

Rabu, 17 Maret 2021 | 10:05 WIB | Humas EBTKE

JAKARTA – Minyak goreng bekas atau yang dikenal dengan minyak jelantah (used cooking oil/UCO) berpotensi memiliki nilai pasar yang tinggi. Minyak jelantah berpeluang untuk diolah menjadi biodiesel yang dapat digunakan menjadi subtitusi minyak solar bagi mesin diesel untuk sektor transportasi maupun industri. Minyak jelantah untuk biodiesel itu bukan hal yang baru di dunia. Beberapa negara sudah memanfaatkan minyak jelantah untuk energi, di Indonesia sendiri, IPB telah menggunakannya.

“Jika minyak jelantah ini dikelola dengan baik dapat memenuhi 32% kebutuhan biodiesel nasional. Memiliki peluang unutk dipasarkan baik kedalam dan keluar negeri serta hemat biaya produksi 35 % dibandingkan dengan biodisesel dari CPO (crude palm oil) serta mengurangi 91,7% emisi CO2 dibanding solar”, papar Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Effendi Manurung, mewakili Direktur Bioenergi, pada webinar Mengenal Potensi dan Dampak Minyak Jelantah yang digelar waste4change kemarin (16/3).

Siklus pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel diawali dengan proses pemurnian kemudian disaring kemudian dicampur dengan arang aktif lalu dinetralkan. Setelahnya dilakukan transferivikasi yang menghasilkan biodiesel kasar dan dimurnikan untuk menghasilkan biodiesel. Proses ini menggunakan prinsip zero process.

Effendi mengungkapkan terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan biodiesel berbasis minyak jelantah diantaranya minyak jelantah mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup tinggi sehingga membutuhkan katalis asam homogen dan diperlukan pengembangan teknologi yang efisien dan terjangkau. Diperlukan pula pemetaan potensi bahan baku dan mekanisme pengumpulan dari restoran, hotel dan rumah tangga. Juga perlu penentuan zonapengembangan program karena sebaran lokasi dimana sumber yang tidak simetris dengan lokasi pengolahan biodiesel. Tantangan dan yang menjadi isu utama yaitu dibutuhkan mekanisme harga beli dan belum ada insentif untuk pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah karena saat ini berfokus insentif berbasis minyak sawit. Saat ini baru ada dua badan usaha biodiesel berbasis minyak jelantah, yaitu Alpha Global Cinergy dan PT. Bali Hijau Biodiesel.

Implementasi biodiesel berbasis minyak jelantah di Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa program, diantaranya:

- Program mandatori biodiesel. Kontribusi biodiesel berbasis minyak jelantah sebesar 2.765 kL dari 2014-2018. Adapun produksi kemudian berhenti karena faktor keterbatasan bahan baku dan tingginya biaya produksi.

- Program pengembangan di Bali. PT. Bali Hijau Biodiesel telah mengembangkan biodiesel berbasis minyak jelantah yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar bus sekolah dan genset di beberapa hotel/resort di Bali. Kapasitas terpasang 360 liter/tahun.

- Program pengembangan di Kalimantan. Kelompok swadaya masyarakat di Tarakan Timur berhasil memproduksi biodiesel berbasis minyak jelantah dengan rat-rata produksi 180 L per hari dan dijual dengan harga Rp.11. 000/liter. Dari produksi ini mendapat keuntungan 2juta/hari.

“Kontribusi BBN akan terus meningkat dan dominan dengan implementasi B30 tahun 2020, rencana pengembangan B40 dan B50 serta rencana pengembangan greenfuel. Pengembangan program ini membutuhkan sinergi  dari NGO, perguruan tinggi, masyarakat, swasta dan pemerintah sehingga pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel dalam terlaksana”, pungkas Effendi.

Wakil Walikota Bekasi, Tri Adhianto, yang turut hadir sebagai narasumber pada webinar ini mengungkapkan minyak jelantah dapat diolah masyarakat, yang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan mereka dan penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Meski begitu, masih ada tantangan besar pemanfaatan minyak jelantah termasuk proses pengumpulan, tranportasi, pengolahan dan standardisasi kualitas biodiesel minyak jelantah.

“Pemerintah Bekasi sudah mencanangkan pada hari sampah dunia tahun 2021, menghimbau masyarakat mengumpulkan minyak jelantah, tapi ya tantangannya terkait edukasi pengetahuan masyarakat, mereka khawatir minyak jelantah yang mereka kumpulkan dijual kembali”, ungkap Tri.

Terkait minyak jelantah, selain faktor ekonomi dan lingkungan hidup, edukasi kepada masyarakat bahwa minyak jelantah juga bisa menjadi biodiesel perlu ditingkatkan. Upaya ini merupakan satu kesatuan sistem dari huru ke hilir. Juga masih banyak kendala-kendala baik dari tata pelaksana organisasi dan SOP pengumpulan.

“Saya pikir seluruh stakeholder bersama dengan Pemerintah perlu membahasa regulasi, tata pelaksana organisasinya dan menyiapkan perubahan mindset dan perilaku dari masyarakat”, tutup Tri. (RWS)


Contact Center