Kementerian ESDM Dorong Bio-CNG Sebagai Substitusi LPG

Thursday, 8 July 2021 | 18:10 WIB | Humas EBTKE

JAKARTA - Pemerintah kini tengah menyusun grand strategi nasional dalam rangka percepatan peningkatan kontribusi energi baru terbarukan (EBT) diantaranya dengan melakukan subsitusi energi primer dengan memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Indonesia cukup berhasil dengan implementasi program mandatori biodiesel B30, dimana saat ini juga didorong ke subsitusi bahan bakar padat batubara dengan program Co-firing Biomassa pada PLTU, dan ke depan akan didorong program pengembangan biogas menjadi Biomethane Compressed Natural Gas (Bio-CNG).

“Untuk pengembangan EBT, bioenergi merupakan salah satu jenis energi terbarukan yang sangat komplek karena dapat menggantikan untuk bahan bakar cair, padat maupun bahan bakar gas. Bio CNG ini merupakan pemurnian biogas, dimana kita memisahkan komponen karbon dioksida (CO2) dan karbontetraoksida (CO4) serta menghilangkan komponen gas imperitis lainnya untuk menghasilkan gas metan dengn kadar di atas 95% sehingga karakteristik dari biometan ini menyerupai dengan CNG”, urai Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, pada acara webinar Bioshare Series #2 Pemanfaatan Biogas untuk Sektor Non-Kelistrikan di Indonesia, hari ini (8/7).

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pengembangan biometan dengan skala komersil dapat digunakan sebagai bahan bakar non listrik seperti sektor transportasi dan juga sebagai substitusi LPG yang dapat digunakan untuk industri. Manfaatnya cukup signifikan karena saat ini Indonesia  masih mengimpor LPG dalam jumlah besar. Sumber bahan baku untuk memproduksi Bio CNG cukup beragam. Sebagai negara penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar dan kaya hasil sumber daya alam, Indonesia mempunyai potensi besar untuk memanfaatkan limbah CPO dan juga limbah pertanian serta limbah peternakan lainnya untuk menjadi biogas maupun biometan.

Saat ini Direktorat Jenderal EBTKE didukung berbagai lembaga donor dunia telah melakukan berbagai kajian pemanfaatan biometan atau Bio-CNG. Bersama Global Green Growth Institute (GGGI), telah dilakukan market study di Kalimantan Timur dan Kalmantan Tengah, yang akan dilanjutkan ke pendampingan teknis guna persiapan implementasi pengembangan Bio CNG. Dengan dukungan GIZ, Direktorat Bioenergi juga sedang melakukan pengkajian pengembangan Bio CNG di Lombok dengan memanfaatkan tongkol jagung, selain itu juga merencanakan pelaksanaan proyek untuk pengolahan limbah tapioka di Bangka.

“Walau kita punya potensi yang cukup besar namun saat ini Bio-CNG memang belum berkembang secara komersial di Indonesia, banyak tantangan yang masih menjadi tugas kita bersama, baik dari sisi kebijakan keekonomian maupun dari sisi teknik dan tata niaganya”, kata Feby. 

Melihat potensi yang cukup besar, selain untuk kepentingan energi, biogas juga dapat mengurangi berbagai masalah lingkungan, seperti pencegahan pencemaran dan dapat membuka lapangan pekerjaan apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Lebih luas, dapat membantu meningkatkan akses energi masyarakat dan mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca. Untuk mendorong pengembangan biogas, tengah disusun roadmap biogas berkelanjutan yang meliputi rencana pengembangan juga kerangka kebijakan dukungan pendanaan agar pengembangan biogas yang berkelanjutan dapat terwujud. Feby mengungkapkan pihaknya saat ini telah berdiskusi dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk dapat memanfaatkan dana BPDLH, mendukung pengembangan biogas berkelanjutan ini.

Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Efendi Manurung dalam paparannya menguraikan dalam pengembangan Bio-CNG saat ini akan difokuskan pada transfer teknologinya, selanjutnya mengikutkan serta mendorong para peneliti dan penggiat teknologi untuk berinovasi dalam pengembangan biogas.

“Untuk infrastruktur Bio-CNG saat ini relatif belum ada, belum terimplementasikan, tetapi kita masi tahap koordinasi mendorong, memfasilitasi, dan menyusun regulasi yang berkaitan dengan percepatan implementasi pemanfaatan Bio CNG”, ujar Efendi. Ke depan apabila dibutuhkan infrastruktur untuk implementasi Bio CNG tersebut terdapat peluang untuk dilakukan. Pembangunan jaringan gas (jargas), program infrastruktur yang dilakukan oleh Ditjen Migas, tidak mustahil dibangun untuk Bio CNG, apabila sudah mendesak atau perlu dilakukan fasilitasi implementasi Bio CNG untuk kebutuhan rumah tangga.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia (APCNGI) Dian Kuncoro mengatakan, investasi untuk distribusi dan infrastruktur pemanfaatan Bio-CNG membutuhkan biaya investasi yang lebih mahal dibandingkan LPG. Hal ini disebabkan karena karakteristik keduanya yang berbeda. Menurutnya CNG memiliki tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan LPG sehingga untuk mengangkutnya ke pelanggan membutuhkan material tabung yang lebih kuat. Hal ini berdampak pada biaya material menjadi lebih mahal. Harga jual CNG di industri berkisar US$10—US$13 per MMBTU, merupakan rangkaian cost strucure sampai industri. Oleh karenanya, untuk mendorong pemanfaatan bio-CNG sebagai energi alternatif harus dipastikan bahwa biaya pengolahan biogas memiliki nilai kompetisi dengan harga gas pipa. 

“Biaya dari biogas untuk jadi gas berapa, yang belum jadi bio-CNG? Apakah bisa US$6—US$7 MMBTU? Ini harus punya nilai kompetisi dengan harga gas pipa”, pungkasnya. (RWS)


Contact Center