Investasi dalam Transisi Menuju Energi Hijau Berkelanjutan

Selasa, 25 Oktober 2022 | 16:05 WIB | Humas EBTKE

BOGOR — Seiring perkembangan global, energi baru dan energi terbarukan (EBT) semakin strategis bagi perekonomian dunia, mengurangi dampak perubahan iklim dan menjaga ketahanan energi. Pemerintah terus berupaya mendorong percepatan pengembangan EBT guna mencapai target bauran dan Net Zero Emission/NZE sekaligus mendorong investasi pengembangan EBT.

“Mengacu pada Green RPTUL, pengembangan EBT akan menghasilkan total investasi sekitar USD 55,18 miliar, membuka 281.566 lapangan kerja baru dan mengurangi emisi GRK sebesar 89 juta ton CO2e,” tutur Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana pada Seminar Road to G20 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Organisasi Alumni PTN Indonesia, hari ini (Selasa, 25/10).

Lebih lanjut Dadan menguraikan peluang investasi pengembangan EBT sesuai RUPTL PLN tahun 2021 s.d. 2030, secara berturut antara lain Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) Panas Bumi membutuhkan investasi sebesar 17,35 Miliar USD, PLT Surya Skala Besar 3,2 Miliar USD, PLT Air  25,63 Miliar USD dan PLT EBT Base 5,49 Miliar USD. Sementara untuk PLT Bioenergi membutuhkan investasi sebesar 2,2 Miliar USD, PLT Bayu 1,03 Miliar USD, PLT Peaker 0,28 Miliar USD dan PLT Surya Atap 3 Miliar USD.

“Rencana pengembangan EBT saat ini ditetapkan untuk mendukung pembangunan ekonomi hijau karena kontribusinya dalam mengurangi dampak perubahan iklim dan memastikan ketahanan energi,” imbuh Dadan.

Untuk menarik lebih banyak investasi dalam pengembangan energi terbarukan, pemerintah telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.  Tidak hanya mengatur pemanfaatan energi terbarukan dari segi harga dan mekanisme pengadaan, tetapi juga transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang meliputi peta jalan percepatan penghentian PLTU dan pembatasan pembangunan pembangkit baru.

“Saat ini sedang dalam perumusan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan, yang nantinya ketika disahkan akan memberikan kepastian hukum, memperkuat kelembagaan dan tata kelola, serta menciptakan kerangka regulasi yang komprehensif yang dapat menjaga ekosistem investasi EBT yang kondusif, adil, dan berkelanjutan, sehingga EBT dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat,” tandasnya.

Pada kesempatan ini, Dadan juga mengungkapkan bahwa Pemerintah menargetkan konsumsi bahan bakar nabati (BBN) bisa mencapai 11,6 juta kiloliter pada tahun 2025. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang menggunakan B30 secara nasional di seluruh sektor.

"Kalau dibandingkan dengan Brazil, mereka memang sangat maju tapi itu di bioethanol, Indonesia satu-satunya negara yang maju biodiesel, nanti akan segera mengikuti bioethanol. Pemerintah berkomitmen menggunakan sawit yang berkelanjutan, sehingga ini benar-benar produksi dalam negeri," tegas Dadan.

Hingga saat ini terdapat 35 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah menggunakan bahan bakar berbasis biomassa. Dengan kondisi ini, dari waktu ke waktu dibutuhkan biomassa yang semakin besar, dengan perhitungan sekitar 10 juta ton biomassa pertahun. Menurut Dadan, jumlah itu sebetulnya sudah ada sekarang, seperti dari limbah-limbah industri pertanian ini sudah lebih dari cukup. Namun, kendati stok melimpah faktanya Pemerintah masih dihadapkan pada persoalan harga beli biomassa.

“Ini tidak apple to apple antara harga batubara yang sudah dicap dengan biomassa yang harganya harus mengikuti harga batubara. Kita sedang mencari cara untuk hal tersebut karena ini bukan potensi lagi tetapi sudah menjadi cadangan yang ada depan mata kita,"pungkas Dadan. (RWS)


Contact Center