MK Putuskan Kewenangan Pemerintah Pusat Atas Pengelolaan Pemanfaatan Tidak Langsung Panasbumi Tidak Bertentangan Dengan UUD 1945

Kamis, 21 September 2017 | 10:50 WIB | Rakhma Wardani

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) akhirnya menolak seluruh permohonan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) dalam perkara Nomor 11/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Dalam Amar Putusan, MK memutuskan bahwa kewenangan Pemerintah Pusat atas pengelolaan pemanfaatan tidak langsung panas bumi (untuk tenaga listrik) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Amar Putusan diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh tujuh Hakim Konstitusi yang diketuai Anwar Uswan pada Selasa, 12 September 2017 dan diucapkan oleh sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Arief Hidayat dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum, pada Rabu (20/9).

Turut hadir untuk mendengarkan pembacaan Putusan tersebut, Kepala Biro Hukum KESDM, Hufron Asrofi dan Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Yunus Saefulhak. Keduanya hadir mewakili Menteri ESDM sebagai salah satu Kuasa Hukum Presiden RI.

Yunus Saefulhak menyampaikan kelegaan dan kebanggaan atas putusan ini. “Satu, karena sudah sesuai dengan regulasi, aturan-aturan di atasnya. Yang kedua, secara teknikal panas bumi harus diatur sebagai suatu sistem yang tidak bisa terpisahkan oleh lintas batas provinsi atau lintas batas kabupaten,” ungkapnya.

Menurut Yunus, yang harus kita lakukan adalah menjaga sumber energi panas bumi itu untuk anak cucu nanti. “Kalau sudah menjaga seperti itu, sustainable energi itu akan terjaga, dan akan menjadi warisan anak cucu yang tak pernah habis,” lanjutnya.

Pada permohonan yang diajukan Pemprov Jatim selaku Pemohon, yang terdiri dari Gubernur Jatim, Ketua DPRD Jatim, dan empat Wakil Ketua DPRD Jatim merasa dirugikan dengan ditariknya kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengelola pemanfaatan tidak langsung Panas Bumi dengan diterbitkannya UU No.21 Tahun 2014 dan UU No.23 Tahun 2014. Pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23 ayat (2) UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, serta Lampiran CC Angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terhadap Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) serta Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Setelah memeriksa dengan seksama dalil Pemohon, keterangan Presiden dan keterangan DPD, serta bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.
(1) Kebutuhan energi yang semakin meningkat seharusnya diimbangi pula dengan penyediaan energi yang memadai. Panas bumi adalah potensi energi baru terbarukan yang menjadi alternatif selain energi fosil. Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar yang potensial untuk menjadi energi yang dapat diandalkan jika pemanfaatan dan pengelolaannya dapat dioptimalkan. Pemanfaatan panas bumi secara langsung digunakan untuk keperluan non-listrik, sedangkan pemanfaatan tidak langsung panas bumi digunakan untuk keperluan listrik.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam permohonan a quo adalah kewenangan pemerintah pusat dalam pemanfaatan tidak langsung panas bumi.

Berdasarkan yurisprudensi, listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, yang oleh karenanya berdasarkan pasal 33 UUD 1945 haruslah dikuasai oleh negara. Dikuasai oleh negara dalam hal ini terkait langsung dengan persoalan pembagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

 (2) Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas, ketentuan yang menempatkan urusan listrik, sebagaimana juga panas bumi yang merupakan sumber energi terbarukan sebagai sub urusan pemerintahan konkuren pilihan, yang kewenangannya dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi, tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang penentuannya mendasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan kepentingan strategis nasional.

Mahkamah menegaskan pula bahwa hal demikian merupakan kebijakan pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang dapat mengatur porsi kewenangan pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 mempertegas pendelegasian pengaturan di tingkat Undang-Undang mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah, maka Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 23 ayat (2) UU 21/2014, serta Lampiran CC Angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan pada UU 23/2014 yang memberikan kewenangan penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung, termasuk kewenangan pemberian izin kepada Pemerintah Pusat tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebab keberadaan maupun karakter panas bumi tidak memungkinkannya untuk dibagi-bagi secara administratif, baik dalam konteks provinsi dan lebih-lebih dalam konteks kabupaten/kota.

Pertimbangan Mahkamah ini mengutip dari keterangan ahli geotermal di hadapan Mahkamah dimana sistem panas bumi Indonesia memiliki karakter unik terutama dalam hal ini keberadaannya yang bersifat lintas daerah administratif. Oleh karena itu, penetapan wilayah didasarkan bukan atas wilayah administratif melainkan berdasarkan keberadaan sumber panas bumi tersebut.

(3) Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23 ayat (2) UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, dan Lampiran CC Angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan UU No.23/2014 tidak bertentangan dengan UUD 1945 juga dapat dijelaskan dari perspektif lain.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2014 telah menegaskan kriteria urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, yaitu: (a) urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah provinsi atau lintas negara, (b) urusan pemerintahan yang penggunaannya lintas daerah provinsi atau lintas negara, (c) urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah provinsi atau lintas negara, (d) urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh pemerintah pusat, dan/atau (e) urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.

Dalam kaitan ini, panas bumi memenuhi kriteria tersebut sehingga tepat menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Lebih-lebih jika mempertimbangkan potensi konflik yang timbul apabila hal itu diserahkan kewenangannya kepada daerah, sementara pemerintah tengah berupaya keras menjamin ketahanan energi nasional yang pada masa yang akan datang sangat bergantung pada kemampuan memanfaatkan keberadaan energi baru terbarukan, termasuk panas bumi. (RWS)


Contact Center