Kiat Penggunaan B30 Pada Kendaraan Diesel

Senin, 8 Juni 2020 | 13:30 WIB | Humas EBTKE

JAKARTA – Memasuki semester kedua pelaksanaan implementasi B30, Pemerintah kembali mensosialisasikan keamanan penggunaan B30 kepada masyarakat agar tak ada lagi kekhawatiran akan kerugian dan kerusakan pada mesin kendaraan yang menggunakan pencampuran 30% persen biodiesel dalam bahan bakar jenis solar.

“Mandatori B30 sudah ditetapkan, maka marilah kita bersama menyimak bagaimana menggunakan B30 yang aman, nyaman, optimal, efisien dan tentunya efektif. Potensi biofuel di Indonesia sangat luar biasa dan pengembangan biodiesel akan memberikan banyak aspek positif bagi masyarakat,” ungkap Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian ESDM, Wiratmaja Puja saat membuka Webinar bertajuk Kiat-Kiat Penggunaan B30 Bagi Kendaraan Diesel (Jumat, 5/6).

Seperti diketahui bersama, Program Mandatori Pemanfaatan B30 telah diluncurkan secara langsung oleh Presiden RI pada 23 Desember 2019 lalu setelah melalui berbagai tahap perencanaan matang dan sistematis. Serangkaian uji komprehensif dan konstruktif juga telah dilakukan untuk memastikan implementasinya tepat sasaran. Tak hanya menepis kekhawatiran akan kerugian dan kerusakan pada mesin kendaraan, bahan bakar ini juga berperan dalam meningkatkan kualitas lingkungan.

Berdasarkan hasil uji jalan B30 pada kendaraan bermesin diesel, tidak ada perbedaan signifikan pada kinerja kendaraan yang menggunakan bahan bakar B30 dibandingkan dengan B20 yang sudah diimplementasikan selama ini.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI), Tatang Hernas Soerawidjaja menyampaikan bahwa nilai kalor B30 itu sama dengan 95% solar murni, tetapi efisiensi pembakarannya lebih baik dan emisi gas buangnya lebih bersih dan biodiesel praktis tak mengandung belerang/sulfur. “Konsumsi spesifik bahan bakar mobil berbahan bakar B30 mungkin sedikit lebih besar dari yang berbahan bakar solar murni, tetapi tenaga mobil tetap,” tuturnya.

Selain itu, berbeda dengan solar yang suka air, biodiesel relatif lebih suka air daripada solar karena mengandung atom oksigen. Karenanya, tangki-tangki yang akan digunakan untuk menyimpan B30, termasuk tangki bahan bakar kendaraan harus terlebih dahulu bebas dari kontaminasi dan kemungkinan penyusupan air dan dijaga demikian seterusnya. Masalah biasanya muncul jika tata cara penyimpanan dan penanganan solar diterapkan pada B30. Tatang menyarankan bahan bakar B30 yang tersimpan lama di dalam tangki lebih dari 3 bulan tanpa penjagaan agar bebas air karena bisa dirusak atau didegradasi oleh mikroba.

Pada aspek daya menyapu atau membersihkan kerak, Tatang menekankan bahwa biodiesel memiliki daya melarutkan yang baik. “B30 cenderung menyapu/membersihkan kerak-kerak dari dinding tangki penyimpan dan saluran bahan bakar, sehingga bisa menyumbat saringan bahan bakar (fuel filter). Oleh karenanya, pada waktu pertama kali beralih dari berbahan bakar B0 (solar murni) ke B30, di minggu pertama penggunaan perlu membersihkan atau bahkan mengganti saringan bahan bakar,” ungkapnya.

Tatang juga mengingatkan bahwa biodiesel tidak kompatibel dengan material-material logam seperti tembaga, timah, seng, kuning dan perunggu, serta non logam seperti karet alam maupun karet sintesis. B30 mestinya tak berkontak dengan peralatan/onderdil yang  dibuat dari material-material di atas. Tatang menyarankan material yang digunakan adalah baja karbon, baja anti karat, aluminium, Teflon, viton, atau nylon 6/6.

Selain Tatang Hernas, turut hadir sebagai narasumber pada webinar Arie Rahmadi – Kepala Balai Teknologi Bahan Bakar dan Rekayasa Desain BPPT, Cahyo Setyo Wibowo - Kelompok Riset dan Bahan Bakar Aviasi dari Lemigas KESDM , dan Abdul Rochim - Anggota Kompartemen Pengembangan Teknologi Masa Depan GAIKINDO. (RWS)


Contact Center