Rencana Strategis Pengembangan Bahan Bakar Nabati Menuju NZE

Rabu, 12 Oktober 2022 | 15:05 WIB | Humas EBTKE

JAKARTA – Pemerintah terus berupaya mewujudkan komitmen pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) yang berkelanjutan di Indonesia guna mendukung transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE). Dengan adanya perubahan target penurunan emisi karbon menjadi 32 persen pada tahun 2030 mendatang, dari target semula sebesar 29 persen, pengembangan biofuel menjadi salah satu program strategis yang diunggulkan dalam upaya mendukung pencapaian target tersebut.

Dalam webinar bertajuk Green Fuel Mendukung Ketahanan Energi dalam Masa Transisi Menuju Net Zero Emission, yang digelar hari ini (Rabu, 12/10), Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana mengungkapkan Pemerintah akan mendorong penurunan emisi melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi, serta pelaksanaan program pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT), serta program pendukungnya menuju NZE, baik dari sisi hulu maupun sisi hilir.

“Pergeseran pemanfaatan EBT di dalam negeri, baik dari sisi elektrifikasi maupun Bahan Bakar Nabati/BBN, secara RUPTL akan ada tambahan 20,9 GW dari sisi pembangkit. Dari sisi regulasi, biofuel akan mengisi proses transisi, dimana upaya Pemerintah saat ini sedang menyusun kebijakan B40 dan implementasi pengembangan biogas. Kami akan terus bekerja sama dalam pengembangan teknologi pemanfaatan BBN,” jelas Dadan.

Terkait pengembangan bioavtur, Dadan mengatakan pihaknya sedang berkomunikasi dengan Kementerian Perhubungan. “Bioavtur bisa dimanfaatkan sebagai campuran, waktu itu baru 2,4 persen karena ada hambatan dari sisi infrastruktur. Kami sedang mencoba bersama Kemenhub dari sisi pencampurannya,” ujarnya.

Pengembangan bioavtur dengan teknologi co-processing saat ini dilakukan melalui pengolahan RBDPKO (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil) dilaksanakan di Refinery Unit (RU) IV Cilacap milik PT Pertamina (Persero). J2,4 merupakan campuran bioavtur yang dihasilkan dari bahan baku 2,4% & RBDPKO. Penyebutan “2,4” menandakan persentase pencampuran dari bahan bakar bioavtur pada bahan bakar avtur.

“Memang, ini tidak terbatas pada biofuel, tidak terbatas pengembangan biofuel konvensional ethanol, green fuel yang polanya berbeda dari yang sekarang,” imbuhnya.

Beberapa proyek strategis nasional green fuel antara lain membangun Green Refinery di RU III Plaju untuk mengolah CPO dengan kapasitas 20.000 BPD, Revamping existing unit TDHT yang sebelumnya mengolah kerosene menjadi biorefinery di RU IV Cilacap, pabrik percontohan diesel biohidrokarbon & Bio-Avtur kapasitas 1300 L bahan baku per hari di RU IV Cilacap dan proyek Katalis Merah Putih yang menggunakan teknologi hasil riset peneliti ITB yang bekerja sama dengan Pertamina.

Sebagai pembicara utama pada webinar ini, Dadan memaparkan strategi dan rencana strategis pengembangan biofuel Indonesia, diantaranya,

- Tidak terbatas untuk biodiesel, termasuk bioethanol, bioavtur dan HVO (Hydrotreated Vegetable Oil);

- Tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, didorong yang berbasis kerakyatan;

- Spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen;

- Pemanfaatan by product biodiesel;

- Pemanfaatan hasil sawit non-CPO (Crude Palm Oil);

- Mengembangkan teknologi terkini bahan bakar nabati.

“Kita mendorong tidak hanya dinikmati pengusaha besar, tetapi kerakyatan juga. Kita terus berupaya meningkatkan kualitas penggunaan biofuel sesuai perkembangan teknologi enzim dan kebutuhan konsumen tetapi dari sisi produksi lebih efisien. Dari sisi harga bagaimana supaya lebih transparan, khusus biodiesel, kita sedang menyusun kebijakan harga khusus biodiesel,” pungkas Dadan. (RWS)


Contact Center