Berikut Strategi Pemerintah Dalam Pengembangan EBT, Menuju Kemandirian Energi Nasional
JAKARTA - Pemerintah terus berupaya melaksanakan percepatan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) agar dapat mencapai target 23% energi baru terbarukan (EBT) pada bauran energi nasional tahun 2025 sebagaimana amanat Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
"Kalau kita lihat secara nasional, energy mix itu saat ini masih didominasi oleh fosil. Di sisi lain kita punya potensi EBT yang sangat besar tapi belum kita kelola secara baik. Hingga saat ini pembangkit yang kita miliki sekitar 65,8 ribu MW dimana untuk EBT baru mencapai 9000an MW sekitar 13-14%. Kita berharap nanti pada tahun 2025 kita dapat mencapai 23% seperti yang diamanatkan dalam RUEN," ungkap Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Harris dalam Seminar Economic Outlook bertajuk Membangun Iklim Investasi di Sektor Migas (15/10).
Terkait dengan progres 35.000 MW, Harris mengungkapkan bahwa saat ini yang sudah COD sebanyak 11%, committed on going 87% dan 2% nya masih dalam tahap perencanaan. Selain itu, Pemerintah masih punya "pekerjaan rumah" yang besar karena rasio elektrifikasi saat ini belum mencapai 100%. Capaian hingga semester 1 tahun 2019, rasio elektrifikasi baru mencapai 98,81% dimana masih terdapat satu wilayah yang rasio elektrifikasinya masih rendah, yaitu NTT dengan persentase sekitar 70% dan ditargetkan mencapai 90% pada akhir tahun ini.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan beberapa strategi percepatan pengembangan EBT untuk mencapai target ambisius pada tahun 2025. Pertama, mendorong peningkatan kapasitas unit-unit PLT EBT yang sudah ada dan proyek EBTKE yang sedang berjalan sesuai RUPTL.
Kedua, upaya penciptaan pasar EBT. Untuk pengembangan panas bumi, diupayakan pengembangan Flores GEothermal Island, sinergi BUMN untuk percepatan pengembangan panas bumi di Wilayah Kerja BUMN, dan pengembangan klaster ekonomi berbasis sumber daya setempat dengan pembangkit listrik. Untuk pengembangan PLTA, diupayakan pengembangan proyek PLTA/M/MH utuk klaster industri mineral dan pengembangan PLTMH melalui pemanfaatan berbagai bendungan. Sementara itu, untuk pengembangan PLTS dilakukan sinergi BUMN dan pembangunan daerah, pengembangan klaster PLTS/PLT Hybrid untuk ekonomi berbasis sumber daya setempat, pengembangan green dan smart commercial building, pengembangan PLTS di lahan-lahan pertanian dan perikanan, serta pengembangan ecotourism. Untuk pengembangan BBN, dilaksanakan Mandatori B20 dan B30 serta pengembangan Green Biofuel baik Pertamina maupun non Pertamina.
Untuk pengembangan bioenergi, berbagai upaya penciptaan pasar yang dilaksanakan Pemerintah, antaralain:
a. Melakukan konversi PLTD eksisting menjadi PLTBn CPO;
b. Mendorong pembangkit Captive Power untuk menjual kelebihan listrik pada PT. PLN (persero) dengan skema Excess Power;
c. Melakukan Co-firing dengan pelet Biomassa pada exsisting PLTU;
d. Pengembangan PLT Biomassa skala kecil untuk Wilayah Indonesia Timur secara masif;
e. Pengembangan hutan tanaman energi dan pemanfaatan lahan-lahan sub optimal untuk biomassa melalui kerjasama dengan KLHK, K/L terkait dan Pemda; dan
f. Mendorong penggunaan limbah agro industri untuk pembangkit listrik;
g. Mendorong pengembangan PLTSa.
Tak hanya mendorong peningkatan kapasitas dan penciptaan pasar, Pemerintah juga berupaya meningkatkan akses energi kepada masyarakat langsung melalui pendanaan APBN (LTSHE, PJU TS, Biogas Komunal, dan PLTS Atap) dan memudahkan akses kepada pendanaan yang kompetitif.
“Terakhir, Pemerintah mengeluarkan kebijakan pendukung memperbaiki tata kelola dalam rangka upaya percepatan proyek EBTKE. Hal ini diwujudkan antara lain berupa kemudahan perizinan, penerapan sistem perizinan online di KESDM, perbaikan data dan informasi, pelaksanaan monev dan fasilitasi problem solving untuk proyek-proyek panas Bumi, dan perbaikan standar dan sertifikasi SDM” tutup Harris mengakhiri penjelasannya. (RWS)