Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi

Jumat, 7 November 2014 | 13:46 WIB | Ferial

EBTKE—Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) melakukan sosialisasi Undang-Undang (UU) nomor 21 tahun 2014. Acara tersebut berlangsung di Denpasar, Bali pada 03 November 2014.

Penyelenggaraan “Sosialisasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi” ini dimaksudkan selain untuk menyamakan persepsi/pemahaman terhadap substansi dari Undang-Undang tersebut, sekaligus untuk mendapatkan masukan/input dalam rangka penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut amanat dari Undang-Undang ini.

Acara sosialisasi ini dihadiri oleh Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral di daerah yang bersangkutan, instansi terkait, Asosiasi Panas Bumi Indonesia dan pengembang panas bumi.

Penyelenggaraan sosialisasi ini diawali dengan sambutan oleh Kepala Bidang Energi dan Pertambangan, Dinas Pekerjaan Umum, Provinsi Bali, I. Putu Agus Budiana yang menjelaskan pentingnya ketersediaan energi seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu, juga disampaikan bahwa Pemerintah Bali akan selalu mendukung terlaksananya program-program Pemerintah dalam menjamin ketersediaan energi tersebut, salah satunya dengan percepatan pengembangan panas bumi.

Kemudian acara dilanjutkan dengan sambutan Direktur Panas Bumi, Tisnaldi sekaligus membuka acara sosialisasi ini. Dalam sambutannya, Direktur Panas Bumi menyampaikan bahwa dengan disahkannnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi merupakan terobosan besar yang dilakukan Pemerintah bagi dunia usaha panas bumi. “Undang-Undang ini disusun dalam rangka untuk lebih memberikan landasan hukum yang kuat, lebih komprehensif, transparan dan tidak diskriminatif dalam pengusahaan panas bumi,”kata dia.

Dalam kesempatan tersebut juga disampaikan latar belakang penyusunan dan kronologis singkat proses pembahasan Undang-Undang ini. Secara singkat hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan Undang-Undang ini, adalah 1) bahwa Indonesia mempunyai potensi panas bumi yang besar, yang lokasinya tersebar sepanjang jalur gunung api aktif (ring of fire) mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, dan Maluku; 2) Panas bumi merupakan sumber energi terbarukan yang apabila dikembangkan sebagai energi listrik, selain sebagai sumber energi yang ramah lingkungan, juga dimanfaatkan secara berkelanjutan; 3) Masih belum optimalnya pengembangan panas bumi di Indonesia pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003; Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya pengembang panas bumi/pemegang IUP pasca Undang-Undang ini yang telah berproduksi; 4) Potensi panas bumi banyak ditemukan di wilayah hutan lindung dan hutan konservasi; 5) Dalam UU Nomor 27 Tahun 2003 disebutkan bahwa panas bumi merupakan kegiatan penambangan/pertambangan sehingga potensi panas bumi di wilayah hutan konservasi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal; dan 6) Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung sehingga membatasi pengembangan usaha panas bumi.

Sedangkan kronologis singkat pembahasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014, dimulai dengan: 1) Penyampaian RUU tentang Panas Bumi oleh Presiden kepada Ketua DPR RI melalui surat Presiden RI Nomor R-38/Pres/08/2013 tanggal 13 Agustus 2013; 2) Pembahasan RUU tentang Panas Bumi antara Panitia Kerja Pembahasan RUU tentang Panas Bumi DPR RI dengan Pemerintah yang dilaksanakanmulai bulan Mei s.d. Juli 2014; 3) Pengesahan RUU tentang Panas Bumi menjadi Undang-Undang tentang Panas Bumi pada tanggal 26 Agustus 2014 pada sidang Paripurna DPR RI; dan 4) Ditandatanganinya Undang-Undang tersebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 September 2014.

Lalu acara dilanjutkan dengan pemaparan substansi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 yang disampaikan oleh pejabat eselon tiga dari lingkungan Ditjen EBTKE dengan moderator Sanusi Satar dari Asosiasi Panas Bumi Indonesia API).

Adapun beberapa konsep dan pokok-pokok pengaturan yang terkandung dalam Undang-Undang ini, diantaranya meliputi:

  1. Bahwa pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan dalam pengertian kegiatan pertambangan;
  2. Landasan filosofis kegiatan usaha panas bumi sebagai bagian pemanfaatan dari sumber daya alam bertumpu pada  Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repubilk Indonesia Tahun 1945. Panas Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam Wilayah hukum Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk kemakmuran Rakyat. Oleh karena itu dalam Undang-Undangan ini dinyatakan bahwa Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai Negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 
  3. Pengaturan mengenai kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten Kota.
  4. Kewenangan Pemerintah untuk melakukan Eksplorasi, Eksploitasi dan pemanfaatan yang dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Layanan Umum.
  5. Adanya pengaturan yang lebih rinci mengenai pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung maupun pemanfaatan tidak langsung;
  6. Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi akibat dari perubahan yang semula dilakukan oleh Pemerintah Daerah beralih menjadi kewenangan Pemerintah;
  7. Pengaturan bonus produksi pengusahaan panas bumi (production bonus) yang didasarkan kepada persentase tertentu dari pendapatan kotor sejak unit pertama berproduksi;
  8. Pengaturan ketentuan peralihan yang lebih jelas untuk pengelolaan wilayah kerja panas bumi yang telah ada sebelum diterbitkannya Undang-Undang ini.

Sebagai tindak lanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 ini mengamanatkan pembentukan beberapa Peraturan Pemerintah, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) Peraturan Pemerintah, yaitu:

-Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Bonus Produksi Pengusahaan Panas Bumi;

-Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung; dan

-Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung.

Setelah disampaikannya pemaparan, dilanjutkan dengan diskusi antara narasumber dan peserta sosialisasi terkait dengan substansi dari Undang-Undang tersebut. (herlambang)

 


Contact Center